Rabu, 04 Juni 2014

MENGENANG USMAN & HARUN

MENGENANG USMAN & HARUN

Masih dalam rangkaian Peringatan HUT Korps Marinir sudah sepatutnyalah kita
mengenang kembali Kisah Perjuangan dan Pengorbanan Usman dan Harun yang
berasal di KKo AL kala itu yang kini menjadi Korps Marinir.
Mereka berdua adalah legenda yang gugur menjalankan Tugas Negara.

JANATIN alias USMAN

Masa Kecil

Pada masa penjajahan Jepang, di desa Tawangsari Kelurahan Jatisaba Kabupaten
Purbalingga, lahirlah seorang bayi bernama Janatin, tepatnya pada hari
Minggu Kliwon tanggal 18 Maret 1943 pukul 10.00 pagi. Janatin lahir dari
keluarga Haji Muhammad Ali dengan Ibu Rukiah yang kemudian dikenal dengan
nama Usman, salah seorang Pahlawan Nasional.

Hari, bulan dan tahun berjalan terus, Janatin terus tumbuh menjadi besar dan
kemudian memasuki lingkungan yang lebih luas sesuai dengan pertumbuhannya
dan ia mulai menunjukkan identitas dirinya sebagai Janatin. Orangnya pendiam
lagi tidak sombong, memang demikian pembawaannya. Pergaulannya luas, bisa
bergaul dengan teman semua lapisan yang sebaya dengannya. Tidak merasa
rendah diri walaupun anak desa, dan tidak sombong dengan orang yang lebih
lemah dari dia, sehingga ia mempunyai teman banyak.

Sebagai kepala keluarga Haji Muhammad Ali selalu menerangkan agama sebagai
landasan hidup. Demikian pula dalam bidang pendidikan sebagai dasarnya
beliau menekankan pada pendidikan agama. Tujuannya tidak lain agar kelak
putra-putrinya menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa serta tahu
membalas jasa orang tua. Karena itu tidaklah mengherankan bila putra-putri
Haji Muhammad Ali sedikit banyak mengetahui soal keagamaan dan semua dapat
membaca Al Qur'an dengan baik.

Setelah menamatkan Sekolah Dasar, Janatin meneruskan ke SMP kota
Purbalingga, yang jaraknya kurang lebih sekitar tiga kilometer dari tempat
tinggalnya. Ia masuk di sekolah swasta SMP Budi Bhakti. Sekolah ini
merupakan salah satu sekolah yang mendapatkan simpati di kalangan masyarakat
Purbalingga, karena prestasinya sejajar dengan sekolah negeri.

Walaupun Janatin dari kalangan Islam, namun tidak ada halangan dari orang
tuanya untuk memasuki sekolah tersebut. Karena tujuan masuk sekolah bukan
untuk belajar agama tetapi untuk menuntut ilmu pengetahuan yang akan
dipergunakan sebagai bekal hidup. Sedangkan masalah ilmu agama sudah
diperoleh di rumah yang diajarkan oleh orang tuanya sendiri.

Sebagai anak desa Janatin tidak lupa akan tugas yang diberikan oleh orang
tuanya, yaitu membantu orang tuanya. Ia turut bekerja untuk meringankan
beban orang tua, seperti membersihkan kebun, membantu bekerja di sawah dalam
mengolah sawahnya, kemudian turut membantu memetik hasil kebun serta
memikulnya ke rumah. Setiap hari ia membawa sabit dan menjunjung keranjang
untuk mencari makanan binatang piaraan. Pekerjaan demikian sudah menjadi
kewajiban yang dijalankan setiap hari, sehingga menjadikan dirinya seorang
yang tabah dan ulet.

Di samping itu Janatin ikut juga memperkuat olah raga bulu tangkis di
desanya. Permainan bulu tangkis ini diperoleh dari perkenalan dengan
anak-anak kota. Untuk arena permainan telah dikorbankan sepetak tanah
miliknya yang terletak di dekat rumahnya. Dengan dibukanya lapangan ini
banyak mengundang pemuda-pemuda di desanya, bahkan lebih luas lagi sampai ke
kota.

Memasuki Kehidupan Militer

Dengan dikomandokannya Trikora pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta
oleh Presiden Sukarno, mulailah konfrontasi total terhadap Belanda. Guna
menyelenggarakan operasi-operasi militer untuk merebut Irian Barat, maka
pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/Pangti ABRI/Panglima Besar Komando
Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan No. 1 tahun 1962
membentuk Komando Mandala yang bertanggung jawab atas segala kegiatan
Operasi ABRI serta Sukarelawan.

Masalah Trikora berkumandang di seluruh pelosok tanah air, telah memanggil
segenap lapisan masyarakat dan membangkitkan hati semua pemuda untuk
menyumbangkan tenaga dalam pembebasan wilayah yang masih dikuasi Belanda.
Kesempatan inilah membuka pintu bagi Janatin untuk memasuki dinas militer,
seperti pemuda lainnya dari pelosok tanah air. Sehingga dalam waktu yang
singkat berbondong-bondong pemuda Indonesia mendaftarkan diri untuk menjadi
Sukarelawan, dan salah seorang yang terpanggil adalah Janatin.

Pada saat itu Janatin sudah menduduki SMP kelas tiga ialam kwartal terakhir.
Karena panggilan hatinya yang bergelora ingin menjadi ABRI, maka setelah
menyelesaikan pendidikan, Janatin mendaftarkan menjadi ABRI. Sebelumnya ia
memang nengagumi angkatan Bersenjata. Hal ini terlihat dari perhatian
fanatin kepada kakaknya yang berdinas di Militer. Bila kakaknya pulang,
selalu mendapat perhatian dari Janatin, baik dari pakaian seragam, sikap,
dan geraknya. Begitu pula setiap melihat anggota ABRI baik tetangga se desa
ataupun kenalan selalu menjadi perhatian baginya. pengaruh inilah yang
mengilhami dirinya sehingga ingin menjadi seorang militer.

Semula maksud Janatin tidak mendapat restu dari bapaknya, orangtuanya
mempunyai pandangan lain, menghendaki agar anaknya melanjutkan sekolah yang
lebih tinggi. Haji Muhammad Ali mengharapkan anaknya tidak memasuki dinas
militer, beliau sudah merasa cukup karena ketiga kakaknya sudah menjadi
ABRI, sedangkan Janatin biarlah mencari pekerjaan yang lain. Namun karena
kemauan keras yang tidak dapat dibendung, ia berusaha mendapatkan restu dari
ibunya. Akhirnya Janatin mendapat restu dari orangtuanya untuk memasuki
dinas militer.

Janatin pada tahun 1962 mulai mengikuti pendidikan militer di Malang yang
dilaksanakan oleh Korps Komando Angkatan Laut. Pendidikan ini dilaksanakan
guna pengisian personil yang dibutuhkan dalam menghadapi Trikora. Karena
itulah Korps Komando Angkatan Laut membuka Sekolah Calon Tamtama
(Secatamko), lamanya pendidikan enam bulan dan Janatin termasuk siswa
angkatan ke - X . Setiap siswa selesai melakukan pendidikan dan latihan
pendidikan amphibi dan perang hutan. Pendidikan ini merupakan kekhususan
bagi setiap anggota Korps Komando Angkatan Laut. Pendidikan Calon Tamtama
dilaksanakan bertingkat. Pendidikan dasar militer dilakasanakan di Gunung
Sahari. Pendidikan Amphibi dilaksanakan di pusat latihan Pasukan Pendarat di
Semampir. Pada akhir seluruh pendidikan diadakan latihan puncak di daerah
Purboyo Malang selatan dalam bentuk Suroyudo. Di sinilah letaknya
pembentukan disiplin yang kuat, ketangguhan yang luar biasa, keberanian yang
pantang menyerah serta membentuk kemampuan fisik di segala medan dan cuaca,
merupakan Pembentukan Pendidikan Korps Komando Angkatan Laut. Semua
pendidikan ini telah diikuti oleh Janatin sampai selesai, sehingga ia berhak
memakai baret ungu.

Berkat pendidikan dan latihan yang diperoleh selama memasuki militer,
Janatin tubuhnya menjadi tegap, kekar, pikirannya tambah jernih, korek, yang
lebih penting lagi ia terbina dalam disiplin yang tinggi, patuh, taat dan
tunduk kepada perintah atasannya.

Janatin pada bulan April 1964 dengan teman-temannya mengikuti latihan
tambahan khusus di Cisarua Bogor selama satu bulan. Mayor KKO Boedi Prayitno
dan Letnan KKO Harahap masing-masing sebagai Komandan latihan dan wakilnya.
Dalam pendidikan khusus ini dibagi dalam 13 Tim, sedangkan materi yang
diberikan antara lain: Inteljen, kontra inteljen, sabotase,Demolisi,
gerilya, perang hutan dan lain-lain. Dengan bekal dari latihan di Cisarua
ini, diharapkan dapat bergerak di daerah lawan untuk mengemban tugas nanti.


TOHIR alias Harun

Masa Kecil

Sekitar 15 kilometer sebelah utara kota Pahlawan, Surabaya, tampaklah dari
kejauhan sebuah pulau kecil yang luasnya kira kira 4 kilometer persegi. Di
pulau ini terdapat tempat yang dianggap keramat, karena di pulau inilah
pernah dimakamkan seorang kyai yang sangat sakti dan terkenal di masa itu,
yaitu Kyai Bawean. Sehingga tempat yang keramat ini terkenal dengan nama
Keramat Bawean.

Pada saat tentara Jepang menginjakkan kakinya di Pulau Bawean tanggal 4
April 1943, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama Tohir bin Said.
Tohir adalah anak ketiga dari Pak Mandar dengan ibu Aswiyani, yang kemudian
terkenal menjadi Pahlawan Nasional dengan nama Harun.

Sejak dibangku Sekolah Dasar ia tertarik dengan kulit-kulit kerang yang
terdampar di pasir-pasir tepian pantai daripada memperhatikan pelajaran di
sekolah, hal ini akibat seringnya Tohir pergi ke pantai laut. Perahu-perahu
yang setiap hari mencari nafkah di tengah-tengah lautan, merupakan daya
tarik tersendiri bagi Tohir. Dengan jalan mencuri-curi ia sering menyelinap
ikut berlayar bersama perahu-perahu nelayan ke tengah lautan. Bahkan ia
sering tidak masuk sekolah ataupun pulang ke rumah, karena mengikuti
perahu-perahu layar mencari ikan di tengah laut beberapa hari lamanya.

Setelah menamatkan Sekolah Dasar, tanpa sepengetahuan keluarganya, ia
berhasil melanjutkan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di
Jakarta sampai mendapatkan ijazah. Sejak ia menginjak bangku Sekolah
Menengah Pertama untuk biaya hidup dan sekolah ia menjadi pelayan kapal
dagang, di samping itu tetap rajin belajar mengikuti pelajaran-pelajaran di
sekolahnya dengan jalan mengutip kawan-kawannya.

Ia telah menjelajahi beberapa Negara, tetapi yang paling dikenal dan hafal
daerahnya adalah daratan Singapura. Kadang kadang ia berhari-hari lamanya
tinggal di Pelabuhan Singapura. Dan sering pula ia ikut kapal mondar-mandir
antara Singapura - Tanjung Pinang.

Seorang pemuda Tohir tidak terlepas dari persoalan dunia percintaan. Pada
masa remaja kira-kira umur 21 tahun ia pernah jatuh cinta dengan seorang
gadis idaman hatinya yang bernama Nurlaila.

Tanpa diketahui oleh Samsuri kakak sulungnya sebagai pengganti ayahnya yang
sudah meninggal, Tohir dan gadis tersebut telah sepakat untuk kemudian hari
membina suatu rumah tangga yang bahagia. Sebagai tanda janjinya gadis
tersebut dilingkarkan cicin emas di jari manisnya.

Setelah mendengar kabar, bahwa gadis idaman yang pernah ditandai cincin akan
melangsungkan perkawinan dengan seorang pemuda pilihan orang tua sang gadis,
Tohir merasa tersinggung. Pada saat di rumah sang gadis sedang
ramai-ramainya tamu dan kedua mempelai sudah hampir dihadapkan penghulu,
tiba-tiba Tohir dan kawan-kawannya datang menghentikan Upacara perkawinan.
Dengan nada marah-marah, ia bersikeras menghendaki agar Upacara perkawinan
itu dibatalkan.

Karma penghulu mendapat ancaman dari Tohir, akhirnya lari ke rumah kakaknya
yang dekat tempat Upacara perkawinan bekas pacar Tohir di Jalan Jember
Lorong 61 Tanjung Priok, minta tolong untuk mencegah tindakan Tohir.
Akhirnya Samsuri terpaksa ikut campur dalam masalah perkawinan ini. Ternyata
setelah diusut, barulah diketahui bahwa gadis tersebut secara diam-diam
dengan Tohir melakukan tunangan.

Sebagai seorang anak yang menghormati orang tua maupun saudaranya yang lebih
tua, akhirnya ia menuruti apa yang dikatakan kakaknya untuk mengurungkan
niatnya, tapi dengan syarat barang-barang perhiasan dan uang yang sudah
diberikan kepada gadis tersebut dikembalikan. Sampai saat ini gadis tersebut
masih hidup rukun dengan suami dan anaknya, di bilangan Tanjung Priok.

Memasuki Dunia Militer

Dalam Tim Brahma I dibawah Letnan KKO Paulus Subekti Tohir memulai kariernya
sebagai anggota KKO AL. Ia mulai masuk Angkatan Laut bulan Juni 1964, dan
ditugaskan dalam Tim Brahma I di Basis II Ops A KOTI. Di sini ia bertemu
dengan Usman alias Janatin bin H. Mohammad ALI dan Gani bin Aroep. Ketiga
pemuda ini bergaul cukup erat, lebih-lebih setelah mereka sering ditugaskan
bersama sama.

Setelah Tohir memasuki Sukarelawan ALRI, yang tergabung dalam Dwikora dengan
pangkat Prajurit KKO II (Prako II) dan mendapat gemblengan selama lima
bulan, di daerah Riau daratan, pada tanggal 1 Nopember 1964. Kemudian pada
tanggal 1 April 1965 dinaikkan pangkatnya menjadi Kopral KKO I (Kopko I).

Selesai mendapatkan gemblengan di Riau daratan sebagai Sukarelawan Tempur
bersama-sama rekan-rekan lainnya, ia dikirim ke Pulau Sambu. Hingga beberapa
lamanya rombongan Tohir dan kawan-kawannya yang tergabung dalam kesatuan A
KOTI Basis X melaksanakan tugas di Pulau Sambu. Tohir sendiri telah ke
Singapura beberapa kali, dan sering mendarat ke Singapura menyamar sebagai
pelayan dapur, ia ke sana menggunakan kapal dagang yang sering mampir ke
Pulau Sambu untuk mengisi bahan bakar.

Tohir yang mirip-mirip Cina itu ternyata sangat menguntungkan dalam
penyamarannya. Bahasa Inggeris, Cina dan Belanda yang dikuasai dengan lancar
telah membantu pula dalam kebebasannya untuk bergerak dan bergaul di
tengah-tengah masyarakat Singapura yang mayoritas orang Cina.


PERTEMUAN USMAN HARUN DALAM OPERASI DWIKORA

Baru saja TNI AL selesai melaksanakan tugas-tugas operasi dalam
mengembalikan Irian Barat ke wilayah kekuasaan RI, timbul lagi masalah baru
yang harus dihadapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan dikomandokannya
Dwikora oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta. Komando
tersebut mendapat sambutan dari lapisan masyarakat . termasuk ABRI. Hal ini
terbukti bahwa rakyat Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai
sukarelawan Dwikora sehingga mencapai jumlah 21 juta sukarelawan.

Penggunaan tenaga sukarelawan ini membawa dampak yang besar. Dilihat dari
segi positifnya memang sangat menguntungkan, karena perang yang akan
dihadapi tidak secara frontal, sehingga akan membingungkan pihak lawan.
Tetapi dari segi negatif kurang menguntungkan, karena apabila sukarelawan
itu tertangkap ia akan diperlakukan sebagai penjahat biasa, jadi bukan
sebagai tawanan perang di lindungi oleh UU Perang. Jika Sukarelawan itu
tertangkap oleh lawan, resikonya disiksa secara kejam.

Untuk melindungi Operasi tersebut di atas, KOTI kemudian memutuskan untuk
mempergunakan tenaga-tenaga militer lebih banyak guna mendampingi
sukarelawan-sukarelawan tersebut, memperkuat kekuatan Sukarelawan Indonesia
di daerah musuh.
Untuk mendukung Operasi A. KKO AL mengirimkan 300 orang anggota yang terdiri
dari Kopral sampai Perwira. Sebelum melaksanakan Operasi A. mereka
diwajibkan mengikuti pendidikan khusus di Cisarua Bogor. Selesai latihan
mereka dibagi dalam tim-tim dengan kode Kesatuan Brahma dan ditugaskan di
daerah Semenanjung Malaya (Basis II) dan di Kalimantan Utara (Basis IV).
Yang dikerahkan di Semenanjung Malaya terdiri dari tim Brahma I
beranggotakan 45 orang, tim Brahma II 50 orang, tim Brahma III 45 orang dan
tim Brahma V 22 orang.

Semenanjung Malaya (Basis II) dibagi beberapa Sub. Basis:

1. Sub Basis X yang berpangkalan di P. Sambu dan Rengat dengan sasaran
Singapura.
2. Sub. Basis Y dengan sasaran Johor bagian barat dan Pangkalan Tanjung
Balai.
3. Sub. Basis T yang berpangkalan di P. Sambu dengan sasaran Negeri
Sembilan, Selangor dan Kuala Lumpur.
4. Sub. Basis Z dengan sasaran Johor bagian timur.

Sedangkan Tugas Basis II:

1. Mempersiapkan kantong gerilya di daerah lawan.
2. Melatih gerilyawan dari dalam dan mengembalikan lagi ke daerah
masing-masing.
3. Melaksanakan demolision, sabotase pada obyek militer maupun ekonomis.
4. Mengadakan propaganda, perang urat syarat
5. Mengumpulkan informasi.
6. Melakukan kontra inteljen.

Dalam operasi ini Janatin/Usman melakukan tugas ke wilayah Basis II. A Koti,
ia berangkat menuju Pulau Sambu sebagai Sub Basis dengan menggunakan kapal
jenis MTB. Kemudian menggabungkan diri dengan Tim Brahma I di bawah pimpinan
Kapten Paulus Subekti yang pada waktu itu menyamar dengan pangkat Letkol
KKO - AL dan merangkap menjadi Komandan Basis X yang berpangkalan di Pulau
Sambu Riau. Ketika Usman menggabungkan dengan kawan-kawannya,, ia berkenalan
dengan Harun dan Gani bin Arup, mereka ini merupakan sahabat yang akrab
dalam pergaulan. Dalam tim ini Usman dan Harun mendapat tugas yang sama
untuk mengadakan sabotase di Singapura.

Meskipun Usman bertindak sebagai Komandan Tim dan usianya sedikit lebih tua
dari Harun, demikian pula ia lebih banyak berpengalaman dalam bidang
militer, tetapi ia mengakui masih kurang pengalaman dalam wilayah Singapura.
Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya di Singapura, ia lebih banyak
memberikan informasi kepada Usman. Harun telah hafal betul tentang keadaan
dan tempat-tempat di Singapura, karena Harun pernah tinggal di sana. Tetapi
sebagai seorang militer, mereka masing-masing telah mengetahui apa
tugas-tugas mereka sebagai Komandan dan bawahan.

Karena ketatnya penjagaan daerah lawan dan sukar ditembus maka satu-satunya
jalan yang ditempuh ialah menyamar sebagai pedagang yang akan memasukkan
barang dagangannya ke wilayah Malaysia dan Singapura. Usaha tersebut
kelihatan membawa hasil yang memuaskan, karena dengan jalan ini anggota
sukarelawan berhasil masuk ke daerah lawan yang kemudian dapat memperoleh
petunjuk yang diperlukan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Dari
penyamaran sebagai pedagang ini banyak diperoleh data yang penting bagi para
Sukarelawan untuk melakukan kegiatan. Dengan taktik demikian para
Sukarelawan telah berhasil menyusup beberapa kali ke luar masuk daerah
musuh.

Untuk memasuki daerah musuh agar tidak menimbulkan kecurigaan lawan, para
sukarelawan menggunakan nama samaran, nama di sini disesuaikan dengan
nama-nama dimana daerah lawan yang dimasuki. Demikian Janatin mengganti
namanya dengan Usman dan disambungkan dengan nama orang tuanya Haji
Muhammad Ali. Sehingga nama samaran ini lengkapnya Usman bin Haji
Muhammad Ali.
Sedangkan Tohir menggunakan nama samaran Harun, dan lengkapnya Harun bin
Said. Dengan nama samaran ini Usman, Harun dan Gani melakukan penyusupan
ke daerah Singapura untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian
tempat-tempat
yang dianggap penting.

Sedangkan di front belakang telah siap siaga kekuatan tempur yang setiap
saat dapat digerakkan untuk memberikan pukulan terhadap lawan. Kekuatan ini
terus bergerak di daerah sepanjang perbatasan untuk mendukung para
Sukarelawan yang menyusup ke daerah lawan dan apabila perlu akan memberikan
bantuan berupa perlindungan terhadap Sukarelawan yang dikejar oleh musuh di
daerah perbatasan.

Memasuki wilayah Singapura.
 
Tanggal 8 Maret 1965 pada waktu tengah malam buta, saat air laut tenang
ketiga Sukarelawan iini mendayung perahu,Sukarelawan itu dapat melakukan
tugasnya berkat latihan-latihan dan ketabahan mereka.
Dengan cara hati-hati dan orientasi yang terarah mereka mengamati
tempat-tempat penting yang akan dijadikan obyek sasaran, dan tugas mengamati
sasaran-sasaran ini dilakukan sampa larut malam. Setelah memberikan laporan
singkat, mereka meng adakan pertemuan di tempat rahasia untuk melaporkan
hasil pengamatan masing-masing. Atas kelihaiannya mereka dapa berhasil
kembali ke induk pasukannya, yaitu Pulau Sambu sebaga Basis II dimana Usman
dan Harus bertugas.
 
Pada malam harinya Usman memesan anak buahnya aga berkumpul kembali untuk
merencanakan tugas-tugas yang haru dilaksanakan, disesuaikan dengan hasil
penyelidikan mereka masing-masing. Setelah memberikan laporan singkat,
mereka mengadakan perundingan tentang langkah yang akan ditempuh karena
belum adanya rasa kepuasan tentang penelitian singkat yang mereka lakukan,
ketiga Sukarelawan di bawah Pimpinan Usman, bersepakat untuk kembali lagi ke
daerah sasaran untuk melakukan penelitian yang mendalam. Sehingga apa yang
dibebankan oleh atasannya akan membawa hasil yang gemilang.
 
Di tengah malam buta, di saat kota Singapura mulai sepi dengan kebulatan dan
kesepakatan, mereka memutuskan untuk melakukan peledakan Hotel Mac Donald,
Diharapkan dapat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat sekitarnya. Hotel
tersebut terletak di Orchad Road sebuah pusat keramaian d kota Singapura.
Pada malam harinya Usman dan kedua anggotanya kembali menyusuri Orchad Road.
Di tengah-tengah kesibukan dan keramaian kota Singapura ketiga putra
Indonesia bergerak menuju ke sasaran yang ditentukan, tetapi karena pada
saat itu suasana belum mengijinkan akhirnya mereka menunggu waktu yang
paling tepat untuk menjalankan tugas. Setelah berangsur angsur sepi,
mulailah mereka dengan gesit mengadakan gerakan gerakan menyusup untuk
memasang bahan peledak seberat 12,5 kg.
 
Dalam keheningan malam kira-kira pukul 03.07 malam tersentaklah penduduk
kota Singapura oleh ledakan yang dahsyat seperti gunung meletus. Ternyata
ledakan tersebut berasal dari bagian bawah Hotel Mac Donald yang terbuat
dari beton cor tulang hancur berantakan dan pecahannya menyebar ke penjuru
sekitarnya. Penghuni hotel yang mewah itu kalang kabut, saling berdesakan
ingin keluar untuk menyelamatkan diri masing-masing. Demikian pula penghuni
toko sekitarnya berusaha lari dari dalam tokonya.
 
Beberapa penghuni hotel dan toko ada yang tertimbun oleh reruntuhan sehingga
mengalami luka berat dan ringan. Dalam peristiwa ini, 20 buah toko di
sekitar hotel itu mengalami kerusakan berat, 24 buah kendaraan sedan hancur,
30 orang meninggal, 35 orang mengalami luka-luka berat dan ringan. Di antara
orangorang yang berdesakan dari dalam gedung ingin keluar dari hotel
tersebut tampak seorang pemuda ganteng yang tak lain adalah Usman.
 
Suasana yang penuh kepanikan bagi penghuni Hotel Mac Donald dan sekitarnya,
namun Usman dan anggotanya dengan tenang berjalan semakin menjauh ditelan
kegelapan malam untuk menghindar dari kecurigaan. Mereka kembali memencar
menuju tempat perlindungan masing-masing.
 
Pada hari itu juga tanggal 10 Maret 1965 mereka berkumpul kembali.
Bersepakat bagaimana caranya untuk kembali ke pangkalan. Situasi menjadi
sulit, seluruh aparat keamanan Singapura dikerahkan untuk mencari pelaku
yang meledakkan Hotel Mac Donald. Melihat situasi demikian sulitnya, lagi
pula penjagaan sangat ketat, tak ada celah selubang jarumpun untuk bisa
ditembus. Sulit bagi Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah Singapura.
Untuk mencari jalan keluar, Usman dan anggotanya sepakat untuk menerobos
penjagaan dengan menempuh jalan masing masing, Usman bersama Harun,
sedangkan Gani bergerak sendiri.
 
Setelah berhasil melaksanakan tugas, pada tanggal 11 Maret 1965 Usman dan
anggotanya bertemu kembali dengan diawali salam kemenangan, karena apa yang
mereka lakukan berhasil. Dengan kata sepakat telah disetujui secara bulat
untuk kembali ke pangkalan dan sekaligus melaporkan hasil yang telah dicapai
kepada atasannya. Sebelum berpisah Usman menyampaikan pesan kepada
anggotanya, barang siapa yang lebih dahulu sampai ke induk pasukan, supaya
melaporkan hasil tugas telah dilakukan kepada atasan. Mulai saat inilah
Usman dan Harus berpisah dengan Gani sampai akhir hidupnya.
 
Gagal kembali ke pangkalan.
 
Usaha ketiga Sukarelawan kembali ke pangkalan dengan jalan masing-masing.
Tetapi Usman yang bertindak sebagai pimpinan tidak mau melepas Harun
berjalan sendiri, hal ini karena Usman sendiri belum faham betul dengan
daerah Singapura, walaupun ia sering memasuki daerah inf. Karena itu Usman
meminta kepada Harun supaya mereka bersama-sama mencari jalan keluar ke
pangkalan. Untuk menghindari kecurigaan terhadap mereka berdua, mereka
berjalan saling berjauhan, seolah-olah kelihatan yang satu dengan yang lain
tidak ada hubungan sama sekali. Namun walaupun demikian tetap tidak lepas
dari pengawasan masing-masing dan ikatan mereka dijalin dengan isyarat
tertentu. Semua jalan telah mereka tempuh, namun semua itu gagal.
 
Dengan berbagai usaha akhirnya mereka berdua dapat memasuki pelabuhan
Singapura, mereka dapat menaiki kapal dagang Begama yang pada waktu itu akan
berlayar menuju Bangkok. Kedua anak muda itu menyamar sebagai pelayan dapur.
Sampai tanggal 12 Maret 1965 mereka berdua bersembunyi di kapal tersebut.
Tetapi pada malam itu, waktu Kapten kapal Begama mengetahui ada dua orang
yang bukan anak buahnya berada dalam kapal, lalu mengusir mereka dari kapal.
Kalau tidak mau pergi dari kapalnya, akan dilaporkan kepada Polisi. Alasan
mengusir kedua pemuda itu karena takut diketahui oleh Pemerintah Singapura,
kapalnya akan ditahan. Akhirnya pada tanggal 13 Maret 1965 kedua Sukarelawan
Indonesia keluar dari persembunyiannya.
 
Usman dan Harun terus berusaha mencari sebuah kapal tempat bersembunyi
supaya dapat keluar dari daerah Singapura. Ketika mereka sedang mencari-cari
kapal, tiba-tiba tampaklah sebuah motorboat yang dikemudikan oleh seorang
Cina. Daripada tidak berbuat akan tertangkap, lebih baik berbuat dengan dua
kemungkinan tertangkap atau dapat lolos daribahaya. Akhirnya dengan tidak
pikir panjang mereka merebut motorboat dari pengemudinya dan dengan cekatan
mereka mengambil alih kemudi, kemudian haluan diarahkan menuju ke Pulau
Sambu. Tetapi apadaya manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan.
Sebelum mereka sampai ke perbatasan peraian Singapura, motorboatnya macet di
tengah laut. Mereka tidak dapat lagi menghindari diri dari patroli musuh,
sehingga pada pukul 09.00 tanggal 13 Maret 1965 Usman dan Harun tertangkap
di bawa ke Singapura sebagai tawanan.
 
Mereka menyerahkan diri kepada Tuhan, semua dihadapi walau apa yang terjadi,
karena usaha telah maksimal untuk mencari jalan. Nasib manusia di tangan
Tuhan, semua itu adalah kehendak-Nya. Karena itulah Usman dan Harus tenang
saja, tidak ada rasa takut dan penyesalan yang terdapat pada diri mereka.
Sebelum diadili mereka berdua mendekam dalam penjara. Mereka dengan sabar
menunggu saat mereka akan dibawa ke meja hijau. Alam Indonesia telah
ditinggalkan, apakah untuk tinggal selama-lamanya, semua itu hanya Tuhan
yang Maha Mengetahui.
 
TABAH SAMPAI AKHIR
 
Proses Pengadilan.
 
Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara
Singapura sebagai tawanan dan mereka dengan tabah menunggu prosesnya. Pada
tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun di hadapkan ke depan sidang
Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai
Hakim. Usman dai Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court)
Singapura dengan tuduhan :
 
1. Menurut ketentuan International Security Act Usman dan Harun telah
    melanggar Control Area.
2. Telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.
3. Telah menempatkan alat peledak dan menyalakannya.
 
Dalam proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan
pendahuluan, sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964.
Dalam Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) kedua tertuduh Usman dan Harun
telah menolak semua tuduhan itu. Hal ini mereka lakukan bukan kehendak
sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta kepada
sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang (Prisoner of War).
 
Namun tangkisan tertuduh Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan yang layak
dari sidang majelis. Hakim telah menola permintaan tertuduh, karena sewaktu
kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer. Persidangan
berjalan kurang lebih dua minggu, pada tanggi 20 Oktober 1965 Sidang
Pengadilan Tinggi (Hight Court) yan dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan
bahwa Usman da Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnya
tiga orang sipil. Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.
 
Pada tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun mengajukan naik banding ke Federal
Court of Malaysia dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah dan
J.J. Amrose. Pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak
perkara naik banding Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967
perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London. Dalam kasus ini
Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela yaitu
Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI
di Singapura. Usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu gagal.
Surat penolakan datang pada tanggal 21 Mei 1968.
 
Setelah usaha naik banding mengenai perkara Usman dan Harun ke Badan
Tertinggi yang berlaku di Singapura itu gagal, maka usaha terakhir adalah
untuk mendapat grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Permohonan ini
diajukan pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan
kedua prajurit oleh Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan. Kedutaan RI di
Singapura diperintahkan untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat
dijalankan guna memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua
sukarelawan Indonesia tersebut. Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri
Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar Negeri Singapura membantu usaha
yang dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun mengalami kegagalan. Pada tanggal
9 Oktober 1968 Menlu Singapura menyatakan bahwa permohonan grasi atas
hukuman mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden Singapura.
 
Pemerintah Indonesia dalam saat-saat terakhir hidup Usman dan Harun terus
berusaha mencari jalan. Pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden Suharto
mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk
menyelamatkan kedua patriot Indonesia. Pada saat itu PM Malaysia Tengku
Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura agar mengabulkan
permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap pada
pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip
tertib hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua
orang KKO Usman dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober
1968 pukul 06.00 pagi waktu Singapura.
 
Permintan terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua
mereka ini dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum
dengan orang tuanya dan sanak farmilinya. Permintaan ini juga ditolak oleh
Pemerintah Singapura tetap pada keputusannya, melaksanakan hukuman gantung
terhadap Usman dan Harun.
 
Pesan terakhir.
 
Waktu berjalan terus dan sampailah pada pelaksanaan hukuman, dimana
Pemerintah Singapura telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan
hukuman gantung terhadap Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat
pukul 06.00 pagi Dunia merasa terharu memikirkan nasib kedua patriot
Indonesia yang gagah perkasa, tabah dan menyerahkan semua itu kepada
pencipta - Nya.
 
Seluruh rakyat Indonesia ikut merasakan nasib kedua patriot ini. Demikian
juga dengan Pemerintah Indonesia, para pemimpin terus berusaha untuk
menyelesaikan masalah ini. Sebab merupakan masalah nasional yang menyangkut
perlindungan dan pem belaan warga negaranya. Satu malam sebelum pelaksanaan
hukuman, hari Rabu sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TIN Tjokropranolo
sebagai utusan pribadi Presiden Suharto datang ke penjara Changi. Dengan
diantar Kuasa Usaha Republik Indonesia di Singapura Kolonel A. Ramli dan
didampingi Atase Angkatan Laut Letkol (G) Gani Djemat SH, dapat berhadapan
dengan Usman dan Harun di balik terali besi yang menyeramkan pada pukul
16.00. Tempat inilah yang telah dirasakan oleh Usman dan Harun selama dalam
penjara dan di tempat ini pula hidupnya berakhir.
 
Para utusan merasa kagum karena telah sekian tahun meringkuk dalam penjara
dan meninggalkan tanah air, namun dari wajahnya tergambar kecerahan dan
kegembiraan, dengan kondisi fisik yang kokoh dan tegap seperti gaya khas
seorang prajurit KKO AL yang tertempa. Tidak terlihat rasa takut dan gelisah
yang membebani mereka, walaupun sebentar lagi tiang gantungan sudah
menunggu.
 
Keduanya segera mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat serta
memberikan laporan lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH memperkenalkan
Brigjen Tjokropranolo sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap yang demikian
membuat Brigjen Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan terasa
berat untuk menyampaikan pesan. Pertemuan ini membawa suasana haru, sebagai
pertemuan Bapak dan Anak yang mengantarkan perpisahan yang tak akan bertemu
lagi untuk selamanya. Hanya satu-satunya pesan yang disampaikan adalah bahwa
Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan dihormati
oleh seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka
berdua terhadap Negara. Sebagai manusia beragama, Brigjen Tjokropranolo
mengingatkan kembali supaya tetap teguh, tawakal dan berdoa, percayalah
bahwa Tuhan selalu bersama kita. Kolonel A. Rambli dalam kesempatan itu pula
menyampaikan, bahwa Presiden Suharto mengabulkan permintaan mereka untuk
dimakamkan berdampingan di Indonesia.
 
Sebelum berpisah Usman dan Harun dengan sikap sempurna menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas
usahanya, kepada Jenderal Panggabean, kepada mahasiswa dan pelajar, Sarjana
Hukum, dan Rakyat Indonesia yang telah melakukan upaya kepadanya. Pertemuan
selesai, Sersan KKO Usman memberikan aba-aba, dan keduanya memberi hormat.
 
Menjalani Hukuman Mati.
 
Pada saat ketiga pejabat Indonesia meninggalkan penjara Changi, Usman dan
Harun kembali masuk penjara, tempat yang tertutup dari keramaian dunia.
Usman dan Harun termasuk orang-orang yang teguh terhadap agama. Mereka
berdua adalah pemeluk agama Islam yang saleh. Di alam yang sepi itu menambah
hati mereka semakin dekat dengan pencipta - Nya. Karena itu empat tahun
dapat mereka lalui dengan tenang. Mereka selalu dapat tidur dengan
nyenyaknya walaupun pelaksanaan hukuman mati semakin dekat.
 
Pemerintah dan rakyat Indonesia mengenang kembali perjuangan kedua pemuda
ini dan dengan keharuan ikut merasakan akan nasib yang menimpa mereka.
Sedangkan Usman dan Harun dengan tenang menghuni penjara Changi yang sepi
dan suram itu. Mereka menghuni ruangan yang dibatasi oleh empat dinding
tembok, sedangkan di luar para petugas terus mengawasi dengan ketat. Usman
dan Harun yang penuh dengan iman dan taqwa dan semangat juang yang telah
ditempa oleh Korpsnya KKO AL menambah modal besar untuk memberikan
ketenangan dalam diri mereka yang akan menghadapi maut.
Di penjara Changi, pada hari itu udara masih sangat dingin Suasana mencekam,
tetapi dalam penjara Changi kelihatan sibuk sekali. Petugas penjara sejak
sore sudah berjaga-jaga, dan pada hari itu tampak lebih sibuk lagi.
 
Di sebuah ruangan kecil dengan terali-terali besi rangkap dua Usman dan
Harun benar-benar tidur dengan pulasnya. Meskipun pada hari itu mereka akan
menghadapi maut, namun kedua prajurit itu merasa tidak gentar bahkan
khawatirpun tidak. Dengan penuh tawakal dan keberanian luar biasa mereka
akan menghadapi tali gantungan.
Sikap kukuh dan tabah ini tercermin dalam surat-surat yang mereka tulis pada
tanggal 16 Oktober 1968, yang tetap melambangkan ketegaran jiwa dan menerima
hukuman dengan gagah berani. Betapa tabahnya mereka menghadapi kematian,
hal in dapat dilihat dari surat-surat mereka yang dikirimkan kepada
keluarganya:
 
Sebagian Surat Usman yang berbunyi sebagai berikut:
 
Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan maka perlu anak anda menghaturkan
berita duka kepangkuan Bunda sekeluarga semua di sini bahwa pelaksanaan
hukuman mati ke atas anakanda telah diputus kan pada 17 Oktober 1968, hari
Kamis 24 Rajab 1388.
 
Sebagian isi surat dari Harun sebagai berikut:
Bersama ini adindamu menyampaikan berita yang sangat mengharukan seisi kaum
keluarga di sana itu ialah pada 14-10-1968 jam 10.00 pagi waktu Singapura
rayuan adinda tetap akan menerima hukuman gantungan sampai mati.
 
MENGHADAPI TIANG GANTUNGAN
 
Pukul 05.00 subuh kedua tawanan itu dibangunkan oleh petugas penjara,
kemudian disuruh sembahyang menurut agamanya masing-masing.
Sebenarnya tanpa diperintah ataupun dibangunkan Usman dan Harun
setiap waktu tidak pernah melupakan kewajibannya untuk bersujud kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Karena sejak kecil kedua pemuda itu sudah diajar
masalah keagamaan dengan matang.
 
Setelah melakukan sembahyang Usman dan Harun dengan tangan diborgol
dibawa oleh petugas ke kamar kesehatan untuk dibius.
Dalam keadaan terbius dan tidak sadar masing-masing urat nadinya dipotong
oleh dokter tersebut, sehingga mereka berdua lumpuh sama sekali.
Dalam keadaan, lumpuh dan tangan tetap diborgol, Usman dan Harun dibawa
petugas menuju ke tiang gantungan.
Tepat pukul 06.00 pagi hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968 tali gantungan
kalungkan ke leher Usman dan harun.
 
Pada waktu itu pula seluruh rakyat Indonesia yang mengetahui bahwa kedua
prajurit Indonesia digantung batang lehernya tanpa mengingat segi-segi
kemanusiaan menundukkan kepala sebagai tanda berkabung. Kemudian mereka
menengadah berdoa kepada Illahi semoga arwah kedua prajurit Indonesia itu
mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Mereka telah terjerat di ujung
tali gantungan di negeri orang, Jauh dari sanak keluarga, negara dan
bangsanya.Mereka pergi untuk selama-lamanya demi kejayaan Negara, Bangsa
dan Tanah Air tercinta.
 
Eksekusi telah selesai, Usman dan Harun telah terbujur, terpisah nyawa dari
jasadnya. Kemudian pejabat penjara Changi keluar menyampaikan berita kepada
para wartawan yang telah menanti dan tekun mengikuti peristiwa ini, bahwa
hukuman telah dilaksanakan. Dengan sekejap itu pula tersiar berita ke
seluruh penjuru dunia menghiasi lembaran mass media sebagai pengumuman
terhadap dunia atas terlaksananya hukuman gantungan terhadap Usman dan
Harun.
 
Bendera merah putih telah dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung.
Sedangkan masyarakat Indonesia yang berada di Singapura berbondong-bondong
datang membanjiri Kantor Perwakilan Indonesia dengan membawa karangan
bunga sebagai tanda kehormatan terakhir terhadap kedua prajuritnya.
 
Begitu mendapat berita pelaksanaan eksekusi PemerintaH Indonesia mengirim
Dr. Ghafur dengan empat pegawai KedutaaN Besar RI ke penjara Changi untuk
menerima kedua jenazah iti dan untuk dibawa ke Gedung Kedutaan Besar RI
untuk dise mayamkan. Akan tetapi kedua jenazah belum boleh dikeluarkan dari
penjara sebelum dimasukkan ke dalam peti dan menunggu perintah selanjutnya
dari Pemerintah Singapura. Pemerintah Indonesia mendatangkan lima Ulama
untuk mengurus kedua jenazah di dalam penjara Changi. Setelah jenazah di
masukkan ke dalam peti, Pemerintah Singapura tidak mengizinkan Bendera
Merah Putih yang dikirimkan Pemerintah Indonesia untuk di selubungkan pada
peti jenazah kedua Pahlawan tersebut pada saat masih di dalam penjara.
Pukul 10.30 kedua jenzah baru diizinkan dibawa ke Kedutaan Besar RI
 
Mendapat penghormatan terakhir dan Anugerah dari Pemerintah
 
Setelah mendapatkan penghormatan terakhir dari masya rakat Indonesia di
KBRI, pukul 14.00 jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang dimana telah
menunggu pesawat TNI-AU. yang akan membawa ke Tanah Air.
Pada hari itu Presiden Suharto sedang berada di Pontianak meninjau daerah
Kalimantan Barat yang masih mendapat gangguan dari gerombolan PGRS dan
Paraku. Waktu Presiden diberitahukan bahwa Pemerintah Singapura telah
melaksanakan hukuman gan tung terhadap Usman dan Harun, maka Presiden
Suharto menyata kan kedua prajurit KKO-AL itu sebagai Pahlawan Nasional.
 
Pada pukul 14.35 pesawat TNI-AU yang khusus dikirim dari Jakarta
meninggalkan lapangan terbang Changi membawa kedua jenazah yang telah
diselimuti oleh dua buah bendera Merah Putih yang dibawa dari Jakarta. Pada
hari itu juga, tanggal 17 Oktober 1968 kedua Pahlawan Usman dan Harun telah
tiba di Tanah Air. Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu rakyat Indonesia
menjemput kedatangannya dengan penuh haru dan cucuran air mata. Sepanjang
jalan antara Kemayoran, Merdeka Barat penuh berjejal manusia yang ingin
melihat kedatangan kedua Pahlawannya, Pahlawan yang membela kejayaan Negara,
Bangsa dan Tanah Air.
 
Setibanya di lapangan terbang Kemayoran kedua jenazah Pahlawan itu diterima
oleh Panglima Angkatan Laut Laksamana TNI R. Muljadi dan seterusnya
disemayamkan di Aula Hankam Jalan Merdeka Barat sebelum dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata.
 
Pada upacara penyerahan kedua jenazah Pahlawan ini menimbulkan suasana yang
mengharukan. Di samping kesedihan yang meliputi wajah masyarakat yang
menghadiri upacara tersebut, di dalam hati mereka tersimpan kemarahan yang
tak terhingga atas perlakuan negara tetangga yang sebelumnya telah mereka
anggap sebagai sahabat baik. Pada barisan paling depan terdiri dari barisan
Korps Musik KKO-AL yang memperdengarkan musik sedih lagu gugur bunga,
kemudian disusul dengan barisan karangan bunga. Kedua peti jenazah tertutup
dengan bendera Merah Putih yang ditaburi bunga di atasnya. Kedua peti ini
didasarkan kepada Inspektur Upacara Laksamana TNI R. Mulyadi yang kemudian
diserahkan kepada Kas Hankam Letjen TNI Kartakusumah di Aula Hankam.
Di belakang peti turut mengiringi Brigjen TNI Tjokropranolo dan Kuasa Usaha
RI untuk Singapura Letkol M. Ramli yang langsung mengantar jenazah Usman
dan Harun dari Singapura.
Suasana tambah mengharukan dalam upacara ini karena baik Brigjen
Tjokropranolo
maupun Laksamana R. Muljadi kelihatan meneteskan air mata.
 
Malam harinya, setelah disemayamkan di Aula Hankam mendapat penghormatan
terakhir dari pejabat-pejabat Pemerintah, baik militer maupun sipil,
Jenderal TNI Nasution kelihatan bersama pengunjung melakukan sembahyang
dan beliau menunggui jenazah Usman dan Harun sampai larut malam.
 
Tepat pukul 13.00 siang, sesudah sembahyang Jum'at, kedua jenazah
diberangkatkan dari Aula Hankam menuju ke tempat peristirahatan yang
terakhir. Jalan yang dilalui iringan ini dimulai Jalan Merdeka Barat, Jalan
M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan Pasar
Minggu dan akhirnya sampai Kalibata. Sepanjang jalan yang dilalui antara
Merdeka Barat dan Kalibata, puluhan ribu rakyat berjejal menundukkan kepala
sebagai penghormatan terakhir diberikan kepada kedua Pahlawannya. Turut
mengiringi dan mengantar kedua jenazah ini, pihak kedua keluarga, para
Menteri Kabinet Pembangunan.
 
Laksamana R. Muljadi, Letjen Kartakusumah, Perwira-perwin Tinggi ABRI,
Korps Diplomatik, Ormas dan Orpol, dan tidak ketinggalan para pemuda
dan pelajar serta masyarakat.
Upacara pemakaman ini berjalan dengan penuh khidmat dan mengharukan.
Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Letjen Sarbini. Atas nama
Pemerintah Letjen Sarbini menyerahkan kedua jasad Pahlawan ini kepada
Ibu Pertiwi dan dengan diiringi doa semoga arwahnya dapat diberikan tempat
yang layak sesuai dengan amal bhaktinya.
 
Dengan didahului tembakan salvo oleh pasukan khusus dari keempat angkatan,
peti jenazah diturunkan dengan perlahan-lahan ke liang lahat. Suasana
bertambah haru setelah diperdengarkan lagu Gugur Bunga.
 
Pengorbanan dan jasa yang disumbangkan oleh Usman dan Harun terhadap
Negara dan Bangsa maka Pemerintah telah me naikkan pangkat mereka satu
tingkat lebih tinggi yaitu Usmar alias Janatin bin Haji Muhammad Ali menjadi
Sersan Anumerta KKO dan Harun alias Tohir bin Mandar menjadi Kopral
Anumerta KKO.
Sebagai penghargaan Pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang
Sakti dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
 
Korps Marinir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar